Laman

Minggu, 24 Februari 2013

Andai Bisa Lebih Cepat


       Azan subuh baru saja berkumandang dari masjid dekat rumah ku. Dengan sisa keletihan yang masih terasa aku mencoba bangkit menuju kamar mandi. Dinginnya air, membuat mata ku terbuka lebar. Hari ini memang hari Minggu, kata orang hari ini hari libur, namun tidak buat ku. Banyak pekerjaan yang harus ku selesaikan. Mengisi rapot anak- anak TK dan juga menyelesaikan secepatnya tugas kuliah ku.


        Dengan kesegaran yang kembali hadir, kulangkahkan kaki kembali ke kamar untuk sholat subuh terlebih dahulu. Hanphone ku bergetar bahkan sebelum aku selesai melipat mukena. Menandakan satu pesan singkat baru saja masuk.
“kamu udah sholat belum yank?” begitu bunyi smsnya. Dengan kecepatan diatas rata-rata, kubalas pesan itu.
“sudah, kamu??”
“baru aja, pagi ini ada kegiatan apa?”
Dan selanjutnya aku seharian penuh ber’sms’an dengan pria itu. Pria yang telah melamar ku. Pria yang rencananya akan ku nikahi. Ivan namanya.

       Dua bulan sudah kujalani masa pertunangan ku. Namun kenapa masih ada keraguan dalam hati ku. Ada perasaan yang mengusik hati ku. Dalam kesibukan mengerjakan tugas kuliah, lamunan ku terbang mengingat saat pertama aku bertemu dengannya. Dia kakak tingkat di fakultas ku, aku bertemu dengannya di salah satu organisasi kampus. Kami berkenalan, dekat, dan entah kenapa dia langsung mengajak ku kerumahnya di wilayah bogor untuk dikenalkannya pada orang tuanya.

“udah, kalian nikah aja. Ibu sudah tua. Tak usahlah kalian pacaran, kalian sudah besar. Ibu mau gendong cucu dari kalian.” Begitu ungkap ibu Ivan kepada ku.
       Senang dan bahagia yang kurasakan saat itu. Bagaimana tidak, aku yang sudah begitu lelah dengan status pacaran yang sudah ku jalani dari masa SMP. Aku lelah dengan semua kata-kata manis yang tiap pacar ku katakan di awal masa pacaran ku. Namun semua itu berakhir begitu saja dengan kata putus yang menyesakkan hati ku. Sudah beberapa cerita cinta yang pernah ku miliki. Semua berakhir dengan masalahnya sendiri. Namun satu kesadaran menyentakku ketika aku lulus SMA, ketika akhirnya satu cerita cinta pacaran ku yang sudah kujalani tiga tahun pun harus kandas karena orang tua ku tak merestuinya. Saat itu sudah benar-benar hancur perasaan ku. Sepertinya tak ingin lagi kutulis cerita cinta.
*
        Namun pertemuan ku dengan Ivan mengubah diriku. Satu kalimat yang terlontar dari mulut ibunnya itu sungguh sangat menggoda ku. Kuceritakan semua itu kepada ibu ku.
“ma, bagaimana jika ada yang melamar ku?” Tanya ku saat itu.
“kamu sudah besar, jika memang dialah jodoh mu, maka pada akhirnya kamu pun akan bersamanya. Waktu tak bisa menghentikan takdir itu.” Jawab ibu ku saat itu.
Tak lama kemudian datanglah keluarga Ivan kerumah ku. Membicarakan sebuah acara pertunangan. Keluarganya menginginkan pernikahan dipercepat. Aku pun demikian, karena aku tak ingin lagi menjalani satu cerita yang tak jelas itu, yang bahkan ku ketahui kini sangat dilarang oleh agama ku. Namun sesuatu menganjal dalam hati. Sebuah keinginan untuk menyelesaikan kuliah ku terlebih dahulu sebelum aku menikah. Ku coba berdiplomasi dengan mereka. Dan akhirnya mereka setuju dengan ku, bahwa pernikahan akan dilangsungkan begitu aku meraih gelar sarjana ku, berarti itu masih dua tahun lagi.

*
         Hari berlalu, sudah sebulan aku bertunangan dengannya, namun ada yang berubah dari sikap orang tua Ivan yang menginginkan pernikahan dipercepat. Satu kejadian membuat ku kecewa. Saat itu aku berkunjung ke rumah Ivan. Duduk bersama dengan semua anggota keluarganya. Kami bercengkrama, saling bercerita. Sampai saat dimana ayah Ivan berkata kepada ku.
“nak, bapak mau pernikahan kalian dipercepat” kata beliau kepada ku.
“Yunia mau lulus kuliah dulu pak.” Jawab ku saat itu. Dan kemudian ayah Ivan berkata sesuatu yang membuat hati ku sakit.
“kalo memang mau begitu, ya sudah. Biar Ivan cari perempuan lain saja yang bisa segera menikah” kata beliau menatap ku. Maka dengan segala kekecewaan ku, ku lepas cincin yang sudah satu bulan ada di jari manis tangan kiri ku itu. Melepas dan meletakkannya di atas meja di depan calon mertua ku itu. Lalu dengan mengucap salam aku lari ke jalan untuk pulang.

         Hati ku begitu hancur, bisa-bisanya bapak itu berkata seperti itu. Harapan ku, impian ku yang ingin kuraih harus pupus ditengah jalan. Kupercepat langkah ku ketika ku dengar Ivan memangil dengan suara langkah kakinya berusaha mengejarku.
“Nia, ayah ku hanya berusaha merayu mu untuk mempercepat pernikahan kita. Bukan maksudnya menyakiti mu seperti ini. Kembalilah, kita bisa bicarakan baik-baik.” Katanya tanpa menyentuh ku. Yah, selama perkenalan kami, dia tak pernah menyentuh ku sedikit pun.
“yah, kita akan membicarakannya baik-baik. Namun aku perlu waktu untuk membicarakan semua itu dengan diri ku sendiri dahulu. Dan sekarang aku ingin pulang. “ setelah selesai berkata aku kembali berjalan menuju terminal bus kota bogor. Dan Ivan tak lagi memanggil ku.
*
        Kuceritakan semua nya kepada ibu ku. Ibu ku menyarankan ku untuk sholat istikhoroh dua rakaat. Meminta petunjuk apa yang seharusnya ku pilih.
Dan sampai saat ini jawaban itu belum juga kutemukan. Apa sebaiknya….. TTRRRrrr…. Suara getaran hanphone ku membuyarkan semua lamunan ku. Kulihat layarnya, Ivan. Ya Allah, apa yang harus kulalukan. Cincin itu memang sudah kembali ada padaku, namun tidak ku kenakan lagi. Aku bertekad cincin itu akan jadi cincin pernikahan ku jika memang Allah meridhoinya. Jika tidak, akan ku kembalikan kepada Ivan. Belum sempat ku balas sms itu azan ashar berkumandang dari masjid dekat rumah. Ku segerakan sholat ashar, aku ingin lebih cepat mengadu pada-Nya. Tentang masalah ini yang masih mengusik hati ku. Entah kenapa, air mata ku seperti tak terbendung ketika ingin bertakbiratul ihram. Ku tenangkan hatiku, namun kesedihan dihatiku tak juga pergi dari hati ini. Dengan susah payah ku redam sedih ku. Usai sholat, ku panjatkan doa pada-Nya.

“Ya Allah, jika memang namanya yang tertulis di laufuz mahfuz, maka mudahkan jalan ku untuk memenuhi separuh dien Mu, bukankah hati tuk menyegerakan janji suci itu. Sudah banyak dosa ku perbuat sejak aku mulai mengenal apa itu cinta. berikan hati ku kelapangan dan kekuatan untuk tidak menundanya lagi. Namun Ya Allah, bila ternyata bukan dia yang pemimpin ku. Pisahkan kami dengan baik-baik. Dengan tetap menjaga silaturrahmi yang sudah terjalin ini. Semoga petunjuk Mu adalah yang terbaik untuk kedua keluarga ini. Aminn..”

       Selesai sholat, kembali aku menangis pilu. sujud Syahwi dengan segala kerendahan hati. Selesai sujud kurebahkan tubuh diatas sajadah, masih memakai mukena. Teringat segala dosa yang pernah ku perbuat, segala sakit hati yang kuberikan kepada semua mantan pacar ku. Apakah ini balasan untuk ku atas salah ku saat itu?. Dalam pemikiran yang menyayat hati itu aku tertidur diatas sajadah.

       Suara pintu tertutup membuat ku terjaga dari tidur. Kulihat jam dinding di kamar ku, saat itu jam menunjukkan pukul 18.11 menit. Lama juga aku tertidur. Ku hapus air mata yang masih saja mengalir dari pipi ku. Ku ambil hanphone ku. Ku lihat sudah ada tiga pesan masuk di layarnya. Ku buka dan ku baca satu persatu. Ternyata semua sms itu dari Ivan.

15.16 Nia, gimana? Sudah satu bulan. Ayah ku    nanya itu lagi. Masih mau ngelanjutin       atau . . . .
16.01 sudah satu bulan dan aku menjadi ragu     tentang kesungguhan mu. Jujur aku tak       ingin terlalu lama seperti ini. Terlalu   banyak peluang dosa yang akan       kita perbuat. Nia maafkan aku.
17.48 aku mengerti. Semoga ini yang terbaik     untuk kita. Semoga kau temukan lelaki       hebat yang bisa memimpin mu kelak.

        Aku menangis membacanya. Andai tadi aku tidak tertidur. Tangis ku semakin menjadi. Menyesal karena begitu mudahnya aku tertidur sebelum membalas pesan singkat itu.

          Tak lama kesadaran menyentakkan ku. Jadi ini jawaban atas semua doa ku Ya Rabb.. ampuni hambamu ini.  Mungkin memang benar takdir itu bukan milik aku dan Ivan. Satu hal yang ku yakin. Tidur ku tadi itu pasti Allah yang menghendakinya. Dan hal ini terjadi pun pasti karena kehendak-Nya pula. Dengan sedikit senyum yang bisa terkembang, ku ketik beberapa kata untuk Ivan.

To: Ivan
      Bila takdir itu milik kita pasti Allah pertemukan nanti di saat yang tepat. Akan ku atur waktu untuk kembalikan cincin ini pada mu.
From: Nia
***


       Hari ini, ditempat ini, sebagai saksi bahwa dua orang yang saling menyayangi pun belum tentu berjodoh. Bahwa dua orang yang sudah terikat sebuah pertunangan pun belum tentu dapat melangsungkan pernikahan. Ku kembalikan cincin itu pada dia. Dengan keyakinan kami akan mendapatkan segala hal terbaik yang sudah dijanjikan oleh-Nya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar